Praktik Debt Collector Lapangan Kian Dipertanyakan, Dasar Hukumnya Dinilai Sudah Gugur

Berita62 Dilihat
banner 468x60

INEWSFAKTA.COM | Jakarta, 17-12-2025 — Praktik penagihan utang oleh debt collector lapangan kembali menuai sorotan. Sejumlah pakar hukum menilai, tidak ada dasar hukum yang memberi kewenangan paksa kepada debt collector, terutama setelah terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang membatasi eksekusi jaminan fidusia secara sepihak.

Dalam praktik di lapangan, debt collector kerap melakukan penarikan kendaraan, intimidasi, hingga tekanan psikologis terhadap debitur. Padahal, menurut hukum positif Indonesia, penagihan utang hanya sah dilakukan melalui mekanisme perdata dan pengadilan, bukan dengan tindakan paksa oleh pihak ketiga.

banner 336x280

Putusan MK Batasi Eksekusi Sepihak

Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 menegaskan bahwa kreditur tidak boleh menarik objek jaminan fidusia secara sepihak, kecuali terdapat kesepakatan sukarela dari debitur atau putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

“Putusan ini pada dasarnya menghilangkan praktik eksekusi langsung di lapangan. Tanpa putusan pengadilan, penarikan kendaraan oleh debt collector berpotensi melanggar hukum,” ujar seorang akademisi hukum perdata di Jakarta, Selasa (—).

Sebelumnya, Pasal 15 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia kerap dijadikan dasar penarikan kendaraan. Namun setelah putusan MK tersebut, pasal itu tidak dapat lagi ditafsirkan sebagai hak eksekusi sepihak.

Tidak Memiliki Kewenangan Paksa

Secara hukum, debt collector bukan aparat penegak hukum dan tidak memiliki kewenangan untuk menyita atau mengambil barang milik debitur. Tindakan penagihan dengan ancaman, tekanan, atau kekerasan justru dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Selain itu, praktik tersebut juga berpotensi masuk ranah pidana, antara lain :
* Pasal 368 KUHP tentang pemerasan,
* Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan,
* serta pasal-pasal pencurian atau perampasan jika barang diambil tanpa dasar hukum sah.

OJK Larang Penagihan Intimidatif

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga telah mengatur pembatasan penagihan melalui Peraturan OJK Nomor 6/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan. Dalam aturan tersebut, penagihan dilarang dilakukan dengan cara :
* kekerasan atau ancaman,
* tekanan fisik maupun psikologis,
* mempermalukan konsumen di muka umum.

Ketentuan tersebut diperkuat melalui Surat Edaran OJK Nomor 11/SEOJK.07/2014 yang mewajibkan penagihan dilakukan secara beretika dan melarang penggunaan pihak yang tidak tersertifikasi.

Klausul Sepihak Dinilai Batal Demi Hukum

Dalam banyak perjanjian pembiayaan, masih ditemukan klausul baku yang memberi kuasa sepihak kepada perusahaan pembiayaan atau debt collector untuk menarik objek kredit. Klausul semacam ini dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya Pasal 18, sehingga batal demi hukum.

“Konsumen memiliki hak atas rasa aman dan perlindungan hukum. Klausul yang merugikan konsumen tidak dapat dijadikan dasar penarikan paksa,” kata pengamat perlindungan konsumen.

Dorongan Penegakan Hukum

Sejumlah kalangan mendorong aparat penegak hukum dan regulator untuk lebih tegas menindak praktik debt collector ilegal. Tanpa penegakan hukum yang konsisten, praktik penagihan paksa dinilai akan terus menimbulkan konflik dan keresahan di masyarakat.

Dengan berbagai regulasi dan putusan pengadilan yang ada, praktik debt collector lapangan sejatinya telah kehilangan legitimasi hukum. Penagihan utang, para pihak sepakat, semestinya dikembalikan ke jalur hukum yang beradab, transparan, dan menghormati hak warga negara.

(Red/H)

banner 336x280

Posting Terkait

Jangan Lewatkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *