INEWSFAKTA.COM | Jakarta, 6-12-2025 — Kesaksian (A) dan penjelasan pemilik unit rumah susun di ibukota.
Yang membuat saya pribadi ” nyengir “, bila bertemu dengan para pejabat dinas yang tidak mampu menegakkan UU 20/2011 dan PP 13/2021.
Mau itu persepsi Bisnis atau Perdata. Sudah ada etikal prosedur sederhana yang harus dipenuhi diawal sudah diatur jelas sekali dan berlapis lapis.
Untuk Hal Hal yang Dasar sekali, seperti Mencuri itu salah.
Contoh Bisnis. Kesepakatan diawal kerjasama ada Uang Muka atau Spesifikasi / Waktu Pengerjaan, kalau kesepakatan awal saja tidak dipenuhi, apa perlu sistim peradilan yang rumit atau memang perlu dibutuhkan pejabat pejabat maupun aparat untuk menentukan ini ada Cacat Formil atau tidak, dan sudah jelas siapa yang tidak mematuhi hukum atau aturan.
Contoh pada rumah susun
Berdasarkan UU / PP / Pergub / Kepmen, kapan harus dilakukan pembentukan P3SRS, serah terima tanah, bagian benda bersama. Kalau ini belum dilakukan saja, ini kan sudah cacat formil. Kok bisa DPRKP mencatatkan SK P3SRS, sampai berkali-kali periode ?
– Atau pengembang tetap tidak fasilitasi pembentukan P3SRS.
– Atau pembeli sudah lunas, bangunan tidak berdiri / tidak layak.
Saya pribadi ” speechless “, atas cara berpikir / logika dan proses keputusan dari para pejabat DPRKP macam itu.
Konsumen atau warga disuruh melalui berlapis lapis laporan dan pengadilan sampai inkra.
Banyak Rapat RUA atau RUALB pada apartemen disaksikan dan dihadiri oleh Pejabat Dinas dan Aparat, dan jelas jelas juga mereka melihat, menyaksikan dan mengetahui terjadinya pelanggaran, tapi membiarkan. Bahkan contoh sederhana, di Apt. MMR.
– perpanjangan shgb induk baru dilakukan saat tinggal 3 bulan lagi habis masa berlakunya, yang mana harus dilakukan paling lambat 2 Tahun sebelum berakhir.
– bahkan serah terima tanah bersama, benda bersama, bagian bersama tidak ada kejelasan kapan dilakukan, dan DPRKP tetap bisa mengeluarkan SK legal dengan cacat formil yg jelas, ada pembiaran atas pelanggaran UU, lebih dari 5 periode kepengurusan.
Seperti / bagaikan aparat penegak hukum yang menyaksikan terjadinya pembunuhan atau perampokan, dan tidak menegakkan hukum, dengan menangkap tangan, tetapi berkata kepada masyarakat sekitarnya yang juga menyaksikan, tunggu sampai pengadilan menetapkan perampok atau pembunuh ini bersalah di pengadilan, baru akan dilakukan penangkapan atau diberikan sanksi.
Operasional DPRKP selama ini dinilai bertentangan dengan semangat perlindungan konsumen dan pengawasan negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun serta Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2021.
Dalam pertemuan warga dengan DPRKP, beberapa aktivis warga rumah susun menyampaikan pengalamannya bahwa pejabat DPRKP menyatakan, tugas instansi tersebut hanya sebatas mendata dan mencatat terbentuknya P3SRS. Setelah itu, seluruh tanggung jawab pengelolaan rumah susun sepenuhnya berada di tangan P3SRS sebagai badan hukum mandiri yang mengatur operasional, keuangan, serta otoritas internal apartemen.
“ DPRKP berkesan hanya mencatat. Setelah P3SRS terbentuk, pemerintah berkesan tidak lagi ikut campur urusan internal ” , demikian kata seorang aktivis warga rumah susun. Padahal sering terjadi laporan kecurangan dalam proses pembentukan P3SRS seperti isu KTP ganda , perwakilan atau pemilik rusun yang entah sebenarnya berasal darimana , dll.
Sejumlah penghuni menilai negara tidak bisa melepaskan diri dari fungsi pengawasan, terutama ketika terjadi dugaan pelanggaran hak konsumen, mal-administrasi, atau konflik kepengurusan yang merugikan penghuni.
Negara Tidak Bisa Lepas Tangan
Pengamat hukum perumahan menilai klaim “hanya pencatat” membuat negara berpotensi kehilangan peran konstitusionalnya dalam menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi warga.
Menurut sarjana (S2) hukum , Undang-Undang Rumah Susun menempatkan negara bukan hanya sebagai administrator, tetapi juga sebagai pengawas untuk menjamin pengelolaan rumah susun berjalan sesuai hukum dan tidak merugikan warga.
UU Nomor 20 Tahun 2011 menyebut pemerintah memiliki peran dalam pembinaan, pengawasan, serta pengendalian pengelolaan rumah susun. Sementara PP Nomor 13 Tahun 2021 menegaskan kewajiban pemerintah daerah untuk membina dan mengawasi P3SRS, termasuk dalam aspek transparansi keuangan, tata kelola organisasi, serta hak dan kewajiban warga.
Dengan demikian, peran DPRKP sebagai sekadar “pencatat administratif” dinilai tidak sejalan dengan keseluruhan kerangka peraturan yang berlaku.
Warga Didorong Mediasi, Lalu Disuruh Gugat
Dalam pertemuan yang sama, warga juga diarahkan untuk menempuh jalur mediasi melalui wali kota apabila terjadi sengketa internal P3SRS. Jika mediasi gagal dan terjadi kebuntuan (deadlock), warga dipersilakan menempuh jalur hukum.
Pola tersebut dinilai membuat posisi warga semakin lemah, karena negara tidak hadir sejak awal untuk mencegah konflik struktural.
“Kalau sejak awal negara hanya menyuruh mencatat, lalu lepas tangan, dan baru hadir saat konflik sudah besar, itu bukan perlindungan, itu pembiaran,” ujar salah seorang warga.
” Pada faktanya , terjadi proses awal yang tidak benar , dibiarkan dan berlanjut … … …
Di sessi akhir , mereka terlalu mudah untuk cuci tangan ! Bahkan dalam rapat mediasi , mereka berani memimpin rapat tidak memakai dasar hukum rumah susun dan berkesan mengikuti arahan dari terlapor ! ” , ujar seorang aktivis hak warga rumah susun.
Celah Kekuasaan di Apartemen
Kondisi ini dinilai menciptakan ruang abu-abu kekuasaan di lingkungan rumah susun. P3SRS bisa memegang otoritas penuh tanpa mekanisme pengawasan efektif, sementara pemerintah daerah berdiri di luar pagar.
Akibatnya, berbagai persoalan seperti:
* iuran pengelolaan lingkungan (IPL) yang tidak transparan,
* sanksi sepihak kepada warga,
* konflik kepengurusan,
* serta dugaan pelanggaran hak konsumen
* sering kali tidak mendapat penyelesaian administratif yang efektif.
Mendesak Reposisi Peran Pemerintah Daerah
Warga kini mendesak adanya reposisi peran pemerintah daerah dalam tata kelola rumah susun. Negara diminta kembali pada mandat konstitusionalnya sebagai pelindung kepentingan publik, bukan sekadar pencatat badan hukum.
Sejumlah komunitas apartemen juga mendorong Kementerian PUPR dan Kemendagri memberikan penegasan kepada pemerintah daerah agar tidak salah menafsirkan peraturan tentang P3SRS.
“ Kalau negara hanya mau jadi seperti notaris, maka warga rumah susun akan terus jadi korban ”, kata koordinator Forum Peduli Warga Rumah Susun Indonesia (FPWRSi)
Kesaksian warga rumah susun lainnya .
Kita ini konsumen , ketika dimaling ditipu , eh…sononya alihkan topik bahwa kita orang kaya atau orang mampu bisa beli rumah susun atau apartemen (menengah).
Kita warga rumah susun ketika menggugat kualitas operasional P3SRS , eh… malah dirubah topiknya menjadi adu kekayaan , adu gengsi dan problem pribadi atau keluarga. Tidak pakai dasar hukum rumah susun.
Ciri ciri mereka sama , yaitu selalu mengupayakan :
* Argumen ad hominem
* Menjawab sesukanya tanpa dasar hukum.
Masyarakat dijebak melalui :
1. surat² perjanjian
2. tidak ada (jaminan) dana perlindungan konsumen yang ditahan pemerintah dari developer. Sehingga ketika terjadi problem di kemudian hari (setelah mulai proses pembeliannya) , maka pemerintah bisa menyelamatkan konsumen.
3. Pemerintah tidak dapat menegakkan sanksi berdasarkan Undang Undang atau peraturan resmi terkait rumah susun , atau dianggap membiarkan selama puluhan tahun.
Sumber : pemilik & penghuni rumah susun.
Bila ada sanggahan , koreksi dan klarifikasi , silahkan hubungi redaksi untuk perbaikan . Semoga bermanfaat bagi edukasi masyarakat 🙏
(RED/HB)














