Keluarga Pasien Kerap Tertekan Saat Diminta Teken Persetujuan Medis dan Biaya Obat Mahal!

Berita55 Dilihat
banner 468x60

INEWSFAKTA.COM | Jakarta, 16-12-2025 — Di ruang-ruang perawatan rumah sakit, keluarga pasien sering menghadapi situasi yang lebih dari sekadar cemas menunggu hasil perawatan. Mereka juga dibebani keputusan medis dan administratif yang tidak mudah : menandatangani persetujuan tindakan medis dan pembelian obat dengan biaya tinggi, meski tidak memahami sepenuhnya konsekuensinya.

Sejumlah keluarga pasien mengaku diminta meneken berbagai dokumen persetujuan saat kondisi pasien berada dalam situasi darurat atau kritis. Informasi yang diberikan sering kali singkat, bersifat teknis, dan tidak selalu mudah dipahami orang awam.

banner 336x280

“Kami orang awam, tidak paham istilah medis. Tapi disuruh tanda tangan cepat karena katanya pasien harus segera ditangani,” kata seorang keluarga pasien yang enggan disebutkan namanya.

Tanda Tangan dalam Tekanan Psikologis

Dalam praktik pelayanan kesehatan, persetujuan tindakan medis (informed consent) seharusnya menjadi proses edukasi dua arah antara tenaga medis dan pasien atau keluarganya. Namun, di lapangan, proses itu kerap berubah menjadi formalitas administratif.

Keluarga pasien berada dalam kondisi mental tidak stabil: cemas, takut kehilangan, dan tertekan oleh situasi darurat. Di saat yang sama, mereka dihadapkan pada daftar tindakan medis dan obat-obatan yang biayanya bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah.

“Yang ditakutkan bukan hanya nyawa pasien, tapi juga tagihan rumah sakit yang jumlahnya tidak masuk akal,” ujar seorang kerabat pasien lain.

Masalah Transparansi Biaya

Selain soal persetujuan tindakan medis, keluarga pasien juga mengeluhkan minimnya transparansi harga obat dan alat medis. Dalam banyak kasus, keluarga baru mengetahui total biaya setelah tindakan dilakukan atau ketika akan menyelesaikan administrasi sebelum pasien pulang.

Sebagian keluarga merasa tidak berada dalam posisi yang setara untuk menolak atau meminta waktu berpikir. Ketika nyawa dipertaruhkan, keberatan biaya sering kali dianggap tidak relevan.

“Kalau dokter bilang harus dilakukan sekarang, siapa yang berani menolak ? Uang bisa dicari, nyawa tidak bisa diganti. Tapi masalahnya, kemudian kami terjebak utang,” kata seorang keluarga pasien.

Perlindungan Hukum yang Lemah bagi Pasien

Sejumlah pakar hukum kesehatan menilai posisi pasien dan keluarganya berada dalam relasi yang timpang. Rumah sakit dan tenaga medis memiliki otoritas keilmuan, sementara pasien berada pada posisi lemah secara psikologis dan informasi.

Dalam konteks hukum, persetujuan yang ditandatangani dalam kondisi tertekan secara mental bisa dipersoalkan. Prinsip hukum perdata mensyaratkan bahwa persetujuan harus diberikan dalam kondisi sadar, sukarela, dan tanpa tekanan.

Namun, hingga kini, mekanisme perlindungan bagi pasien yang merasa dirugikan masih minim. Sengketa medis sering kali berakhir tanpa kejelasan karena keluarga pasien tidak memahami jalur pengaduan, pembuktian, maupun prosedur hukum.

Seruan Reformasi Sistem Informed Consent

Fenomena ini memunculkan desakan agar sistem persetujuan medis di Indonesia direformasi. Proses informed consent tidak boleh sebatas lembar tanda tangan, melainkan harus menjadi dialog yang jujur, transparan, dan manusiawi.

Organisasi perlindungan konsumen mendesak pemerintah dan rumah sakit untuk :
* Mewajibkan penjelasan lisan yang sederhana dan mudah dipahami,
* Memberikan estimasi biaya tertulis sebelum tindakan dilakukan,
* Menyediakan pendamping pasien atau konselor medis,
* Membuka kanal pengaduan yang efektif dan independen.

Bagi keluarga pasien, tanda tangan bukan sekadar formalitas. Di balik satu goresan tinta, tersimpan beban psikologis, risiko finansial, dan ketidakpastian nasib orang terkasih.

(red/HB)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *