INEWSFAKTA.COM | Jakarta, 19-12-2025 – Di atas kertas, banyak persoalan warga dinyatakan selesai. Laporan dicatat, rapat digelar, notulen dibuat, dan status “tuntas” disematkan. Namun di lapangan, persoalan yang sama kembali berulang—bahkan membesar. Fenomena ini terjadi dari skala paling kecil, seperti lingkungan RT di apartemen, hingga level kebijakan provinsi dan nasional. Penyebabnya satu: penyelesaian masalah yang mengejar kuantitas, bukan kualitas.
Alih-alih membedah akar persoalan, pendekatan administratif kerap hanya berfokus pada angka: berapa laporan ditutup, berapa aduan diselesaikan, berapa konflik dianggap reda. Di balik angka-angka itu, tersimpan rekayasa penyelesaian yang menciptakan butterfly effect—dampak berantai yang justru merugikan warga lebih luas.
Dari RT hingga Gubernur : Masalah “Selesai” di Atas Kertas
Di banyak apartemen, konflik bermula dari hal mendasar : iuran pengelolaan lingkungan (IPL), transparansi keuangan, atau legitimasi pengurus. Warga mempertanyakan laporan keuangan, status badan pengelola, atau proses pembentukan P3SRS.
Namun, alih-alih dijawab secara substantif, persoalan sering “diselesaikan” lewat jalur formal semu :
* Rapat digelar tanpa kuorum yang sah (rekayasa data dan peserta).
* Berita acara ditandatangani oleh pihak yang sama berulang kali.
* Keberatan warga dicatat sebagai “aspirasi”, bukan pelanggaran
Hasilnya, laporan ke tingkat kelurahan atau kecamatan menyatakan konflik telah dimediasi. Padahal, substansi masalah—legalitas, transparansi, dan akuntabilitas—tidak pernah disentuh.
Badan Pengelola dan P3SRS : Administrasi Mengalahkan Kebenaran
Di tingkat badan pengelola rumah susun, praktik serupa makin sistemik. Banyak pengelola lebih sibuk menjaga narasi kondusif ketimbang memperbaiki tata kelola.
Contoh yang kerap ditemui :
* Pengelola tetap beroperasi meski masa kontrak atau legalitas dipertanyakan
* P3SRS difungsikan sebagai stempel administratif, bukan representasi pemilik
* Warga kritis diberi label “pengganggu stabilitas”
Laporan ke dinas perumahan sering disajikan seolah konflik hanyalah kesalahpahaman antarwarga, bukan indikasi pelanggaran struktural. Manipulasi framing ini membuat masalah tampak kecil, padahal akarnya dalam dan berdampak luas.
Level Provinsi : Statistik Kinerja, Bukan Keadilan Warga
Di tingkat provinsi, penyelesaian masalah perumahan kerap direduksi menjadi indikator kinerja. Berapa aduan masuk, berapa selesai. Pendekatan ini berbahaya ketika :
* Konflik kompleks dipilah-pilah agar tidak terlihat sistemik
* Kasus besar dipecah menjadi keluhan individual
* Penyelesaian difokuskan pada cooling down, bukan penegakan aturan
Akibatnya, pemerintah daerah tampak berhasil menjaga ketertiban, sementara warga kehilangan akses terhadap keadilan substantif. Masalah tidak hilang, hanya dipindahkan waktunya.
Butterfly Effect : Dari Apartemen ke Masalah Nasional
Penyelesaian semu ini menimbulkan efek domino :
1. Kepercayaan warga runtuh terhadap RT-RW, pengelola, dan pemerintah
2. Konflik horizontal meningkat, warga diadu dengan warga.
3. Beban hukum membesar, perkara menumpuk di pengadilan.
4. Preseden buruk terbentuk, pelanggaran dianggap normal.
Dalam jangka panjang, masalah apartemen bukan lagi isu lokal, melainkan krisis tata kelola perumahan nasional—menyangkut hak atas hunian layak, perlindungan konsumen, dan supremasi hukum.
Kualitas Penyelesaian sebagai Ukuran Negara Hadir
Negara tidak boleh diukur dari berapa banyak laporan yang ditutup, melainkan seberapa dalam masalah diselesaikan. Penyelesaian berkualitas menuntut :
* Audit substantif, bukan sekadar klarifikasi administratif
* Penegakan aturan rumah susun secara konsisten
* Perlindungan warga dari intimidasi struktural
* Keberanian mengakui masalah sistemik
Tanpa itu, penyelesaian yang mengejar kuantitas hanyalah ilusi stabilitas. Dan setiap ilusi yang dipelihara, cepat atau lambat, akan runtuh—meninggalkan kerugian yang jauh lebih besar bagi warga dan negara.
*** Berita ini bertujuan edukasi warga negara dan perbaikan pemerintahan, bila ada koreksi, sanggahan, klarifikasi , silahkan menghubungi redaksi untuk perbaikan.
(RED/HB)














