Perjuangan Panjang Warga Rumah Susun di Indonesia, akibat ” Mereka Semua TikTok-an

Berita70 Dilihat
banner 468x60

INEWSFAKTA.COM | AKARTA, 13-12-2025 — Hingga kini, perjuangan warga rumah susun dan apartemen di berbagai kota di Indonesia masih terus berlangsung. Mereka menghadapi persoalan yang nyaris seragam : tata kelola yang dinilai tidak transparan, keberpihakan regulasi yang dipertanyakan, serta lemahnya perlindungan negara terhadap hak konsumen rumah susun.

Berbagai keluhan warga kerap bermuara pada badan pengelola dan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) yang dianggap berjalan tanpa kontrol efektif. Sejumlah warga bahkan menyebut pengelolaan rumah susun telah berubah menjadi sekadar alat pencitraan dan ladang keuntungan, bukan lagi sarana pemenuhan hak atas hunian yang layak.

banner 336x280

Regulasi Ada, Implementasi Dipertanyakan

Secara normatif, Indonesia memiliki payung hukum yang cukup jelas melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, yang kemudian mengalami perubahan melalui Undang-Undang Cipta Kerja serta diturunkan dalam berbagai peraturan pemerintah dan peraturan daerah. Namun, dalam praktiknya, warga menilai substansi perlindungan tersebut kian tergerus oleh kepentingan ekonomi.

Seorang aktivis rumah susun, BS, menilai bahwa perubahan regulasi dan penafsiran aturan kerap tidak berpihak kepada penghuni. “Banyak penyisipan norma yang sejak awal lebih menguntungkan pelaku pembangunan dan pengelola, sementara posisi pemilik dan penghuni justru melemah,” ujarnya dalam diskusi bersama warga.

Kondisi ini diperparah dengan ketergantungan lembaga teknis daerah terhadap kebijakan kepala daerah. Warga menilai pengawasan pemerintah daerah terhadap pengelolaan rumah susun sering kali tidak independen, sehingga pelanggaran administratif maupun substansial berulang tanpa sanksi tegas.

Rumah sebagai Komoditas

Bagi warga, persoalan utama terletak pada perubahan cara pandang negara dan pelaku usaha terhadap rumah susun. Hunian vertikal yang semestinya menjadi tempat tinggal dan membangun kehidupan keluarga justru diperlakukan sebagai komoditas murni.

“Rumah lebih diposisikan sebagai alat mencari keuntungan, bukan sebagai ruang hidup,” ujar seorang perwakilan warga. Akibatnya, kepentingan penghuni sering berbenturan dengan kepentingan investor atau pemilik modal, situasi yang kerap dimanfaatkan oleh pengembang maupun pengelola.

Tak sedikit pemilik unit yang akhirnya memilih diam dan tidak terlibat dalam perjuangan kolektif warga, selama kepentingan pribadi mereka tidak terganggu. Sikap ini, menurut warga lain, semakin memperlemah posisi tawar komunitas rumah susun.

Dorongan Judicial Review

Dalam situasi tersebut, sebagian warga mulai mendorong uji materiil (judicial review) terhadap sejumlah peraturan menteri dan peraturan gubernur yang dinilai menyimpang dari semangat konstitusi dan undang-undang di atasnya. Mereka berharap Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi dapat mengembalikan prinsip keadilan dan perlindungan konsumen dalam tata kelola rumah susun.

“Yang kami minta sederhana , aturan dijalankan sesuai tujuan awalnya, yaitu melindungi warga negara,” kata salah satu perwakilan komunitas penghuni.

Perjuangan ini, bagi banyak warga, bukan sekadar soal konflik pengelolaan, melainkan tentang hak dasar atas tempat tinggal yang aman, layak, dan dikelola secara adil. Hingga kini, suara warga rumah susun masih terus menggema, menuntut negara hadir secara nyata di tengah persoalan yang mereka hadapi setiap hari.

(Red/HB)

banner 336x280

Posting Terkait

Jangan Lewatkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *