INEWSFAKTA.COM | Jakarta, 15-5-2025 — Praktik pemungutan biaya pencatatan perpanjangan Sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (SHMASRS) kembali menuai sorotan. Sejumlah warga apartemen mempertanyakan transparansi dan dasar hukum biaya yang dibebankan pengelola, setelah muncul kasus warga lanjut usia yang diduga diminta membayar hingga Rp1,5 juta untuk pengurusan pencatatan perpanjangan sertifikat.
Informasi tersebut mencuat dari percakapan internal warga yang beredar di kalangan penghuni apartemen. Dalam percakapan itu disebutkan seorang perempuan berusia sekitar 70 tahun, tinggal seorang diri setelah suami dan anaknya meninggal, didesak untuk segera mengurus perpanjangan SHMASRS. Warga itu disebut khawatir unitnya “diapa-apakan” jika tidak segera membayar.
“Katanya kalau tidak diurus, Maret tahun depan bisa hangus,” demikian salah satu isi percakapan yang beredar. Warga tersebut akhirnya membayar biaya Rp1,5 juta melalui jalur notaris yang disebut bekerja sama dengan pengelola apartemen.
Biaya Dinilai Tidak Wajar
Sejumlah warga mempertanyakan kewajaran tarif tersebut. Dalam percakapan yang sama, muncul informasi bahwa pengurusan pencatatan perpanjangan sebenarnya dapat dilakukan secara mandiri dengan biaya administratif jauh lebih rendah, bahkan disebut hanya sekitar Rp.100 ribu, dengan datang langsung ke kantor BPN wilayah.
“Ini bukan soal mampu atau tidak mampu. Ini soal edukasi dan ketakutan,” ujar seorang warga yang ikut memantau kasus tersebut. Menurutnya, warga lansia kerap menjadi pihak paling rentan karena minim informasi dan mudah terpengaruh narasi ancaman kehilangan hak.
Kondisi itu diperparah oleh ketergantungan warga kepada pengelola apartemen. Dalam kasus ini, warga lansia tersebut diketahui bahkan harus mencicil pembayaran listrik dan air, sehingga tudingan bahwa ia “orang mampu” dinilai tidak berdasar.
Minim Edukasi, Rentan Disalahgunakan
Percakapan internal warga juga mengungkap keprihatinan terhadap rendahnya tingkat edukasi hukum penghuni rumah susun. Banyak warga tidak memahami bahwa SHMASRS adalah hak milik, bukan izin tinggal sementara yang bisa hangus sepihak.
“Rata-rata warga kita kurang edukasi. Kami juga tidak selalu bisa menjelaskan satu per satu,” ujar salah satu penghuni dalam percakapan tersebut. Situasi ini mendorong munculnya usulan pembentukan grup atau forum warga khusus untuk berbagi informasi dan mencegah praktik yang berpotensi merugikan.
Celah Praktik Tidak Transparan
Pakar hukum pertanahan menilai, biaya perpanjangan atau pencatatan SHMASRS seharusnya jelas dasar hukumnya, rinci komponennya, dan bersifat opsional jika melibatkan jasa notaris. Pengelola apartemen tidak dibenarkan menciptakan kesan seolah-olah pengurusan hanya bisa dilakukan melalui satu pintu tertentu.
“Kalau warga ditekan dengan narasi ancaman kehilangan unit, itu sudah masuk wilayah penyalahgunaan posisi dominan,” kata seorang akademisi hukum properti yang enggan disebut namanya.
Perlu Pengawasan dan Sosialisasi
Kasus ini menambah daftar panjang persoalan tata kelola rumah susun di perkotaan. Warga mendesak pemerintah daerah dan instansi pertanahan untuk lebih aktif melakukan sosialisasi hak-hak pemilik satuan rumah susun, sekaligus mengawasi praktik pengelola dan mitra notarisnya.
Tanpa pengawasan yang memadai, warga—terutama lansia dan kelompok rentan—dikhawatirkan terus menjadi korban biaya-biaya yang tidak transparan, atas nama “pengurusan administrasi”.
Berita ini bertujuan edukasi warga negara , bila ada koreksi, sanggahan, klarifikasi , silahkan menghubungi redaksi untuk perbaikan.
(Red/HB)














