FPWRSI Usul Revisi Pergub Rusun, Soroti Celah Mediasi yang Dinilai Longgar dan Rawan Disalahgunakan

Berita142 Dilihat
banner 468x60

INEWSFAKTA.COM | JAKARTA, 10-12-2025 – Koordinator Forum Peduli Warga Rumah Susun Indonesia (yang beranggotakan warga rusun dari berbagai kota), H.Bataya menyampaikan usulan perbaikan kebijakan kepada Ombudsman Republik Indonesia terkait mekanisme penyelesaian sengketa rumah susun di Indonesia. Usulan ini menyoroti celah dalam Peraturan Gubernur DK Jakarta Nomor 70 Tahun 2021, khususnya mengenai pengaturan mediasi antara warga dan pengelola.

Dalam surat tertanggal 10 Desember 2025 yang ditujukan kepada Ombudsman RI dan ditembuskan ke Gubernur DK Jakarta, DPRD, hingga DPR RI, warga menilai Pasal 102A ayat (4) Pergub tersebut terlalu menyederhanakan penyebab gagalnya mediasi. Pasal ini menyebutkan bahwa jika para pihak tidak mencapai kesepakatan, maka mediasi dinyatakan selesai dan para pihak dipersilakan menempuh jalur hukum lainnya.

banner 336x280

Persoalan Bukan Selalu Antar Warga dan Pengelola

Menurut warga, kegagalan mediasi tidak selalu disebabkan oleh ketidaksepakatan antara dua pihak yang bersengketa. Faktor penting yang belum diatur adalah peran pihak ketiga sebagai penyelenggara mediasi. Mereka menilai kualitas mediator sangat menentukan hasil proses.

“Dalam praktiknya, mediasi bisa gagal bukan karena warga dan pengelola tidak mau sepakat, tetapi karena pihak ketiga tidak kompeten atau tidak objektif ”, tulis koordinator FPWRSI.

Warga juga menyoroti potensi penyimpangan, seperti penggunaan dasar hukum yang keliru, pembiaran argumen personal, hingga penyusunan berita acara yang dinilai tidak mencerminkan fakta lapangan.

Duga Ada Penyimpangan Proses

Surat tersebut merinci sejumlah praktik yang dinilai merusak substansi mediasi, antara lain :
* Mediator dinilai tidak menguasai aturan rumah susun dan menggunakan dasar hukum yang sudah tidak relevan.
* Pernyataan dalam forum mediasi tidak sesuai fakta.
* Jawaban salah satu pihak diterima tanpa diverifikasi dengan bukti.
* Pembiaran ketidaktertiban rapat, mulai dari keterlambatan, pergantian peserta tanpa surat kuasa, hingga penutupan rapat yang tergesa-gesa.
* Penyimpangan fokus pembahasan hingga munculnya serangan personal (ad hominem).

Kondisi ini, dapat menciptakan kesan seolah-olah mediasi gagal karena tidak ada kesepakatan, padahal substansinya masalah terletak pada tata kelola forum.

Minta Standar Kualitas dan SOP Mediasi

H.Bataya mengusulkan agar Pemprov menyempurnakan aturan dengan menetapkan standar mutu mediator serta menyusun SOP yang jelas untuk proses mediasi. Standar tersebut dinilai penting agar proses berjalan objektif, adil, dan berbasis hukum yang berlaku.

Mereka juga meminta agar batasan waktu 30 hari atau maksimal dua kali mediasi sebagaimana diatur dalam Pergub tidak diberlakukan secara kaku apabila proses mediasi cacat secara prosedural.

Dampak ke Kanal Pengaduan Warga

Masalah tersebut, menurut warga, berdampak langsung pada efektivitas kanal pengaduan Pemprov seperti JAKI dan CRM. Jika mediasi gagal akibat ketidakcakapan penyelenggara, laporan warga bisa ditutup tanpa penyelesaian substansial.

Warga menilai kondisi ini merugikan pelapor, karena laporan dianggap selesai, meski akar masalah belum tersentuh. Akibatnya, warga dipaksa membuat laporan baru dari awal hanya karena proses sebelumnya dianggap “gugur”.

Ancaman terhadap Layanan Publik

Dalam suratnya, warga menegaskan bahwa kelemahan regulasi ini berpotensi mencederai asas pelayanan publik yang adil dan akuntabel. Mereka berharap Ombudsman RI turun tangan untuk mendorong evaluasi terhadap kebijakan tersebut.

“Tanpa regulasi yang kuat, mediasi bisa berubah menjadi formalitas belaka dan kehilangan fungsi sebagai instrumen keadilan,” tulis H.Bataya.

FPWRSI Pusat
Email : jasolpro@gmail.com

(RED/HB)

banner 336x280

Posting Terkait

Jangan Lewatkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *