INEWSFAKTA.COM | Jakarta, 7-12-2025 — Gejolak internal mengguncang Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Wilayah Jakarta. Seorang anggota berinisial H melayangkan somasi kepada pengurus operasional wilayah, berinisial M setelah mengaku dikeluarkan secara sepihak dari sejumlah grup WhatsAppGrup resmi PSMTI tanpa prosedur organisasi yang semestinya.
Dalam surat somasi tertanggal 19 November 2025, H menyatakan pengeluaran tersebut dilakukan tanpa teguran, tanpa klarifikasi, tanpa penjelasan bukti kesalahan, serta tanpa koordinasi dengan Ketua Wilayah PSMTI Jakarta Barat dan tingkat kecamatan. H menyebut peristiwa itu terjadi pada 13 November 2025 sekitar pukul 20.45 WIB, tidak lama setelah dirinya mengajukan pertanyaan di grup “Konsultasi Hukum”. Ada saksi yang mengetahui kejadian tersebut dan disebut pula adanya dugaan perlakuan berbeda terhadap anggota lain yang bertanya soal serupa, namun tidak dikenai sanksi.
Dugaan Pelanggaran AD/ART hingga Diskriminasi
Somasi tersebut menilai tindakan pengeluaran sepihak melanggar AD/ART organisasi, asas due process (hak membela diri), serta etika dan tata kelola organisasi. Pengurus juga dituding melakukan diskriminasi karena perlakuan yang tidak konsisten antar anggota.
Dalam tuntutannya, H meminta permintaan maaf terbuka, pengakuan bahwa tindakan dilakukan tanpa prosedur, pemulihan hak keanggotaan, serta jaminan agar praktik serupa tidak terulang. Berita ini dibuat setelah lewat batas waktu (3 minggu) dalam surat somasi tersebut. H tidak menerima tanda tanda itikad baik dari oknum M dan juga langkah positif dari organisasi PSMTi dalam penyelesaian masalah internal anggota nya. ” Kualitas asli dari organisasi sosial , bisa dinilai dari kualitas penyelesaian masalah internal nya. Benar-benar berbobot atau hanya pencitraan saja ? “, demikian tandas H.
Makna “Sosial” yang Kian Menyempit
Lebih dari sekadar persoalan teknis kepengurusan, konflik ini memantik perdebatan soal makna “sosial” dalam nama PSMTI. Sejumlah anggota menilai telah terjadi penurunan kualitas nilai sosial—yang sedianya menjunjung persaudaraan, kerukunan, dan kasih sayang—dalam praktik operasional di lapangan. Ada pun keluhan yang diterima oleh H dari beberapa anggota lama, bahwa banyak divisi-divisi yang sebenarnya tidak berfungsi. Mengenai keluhan ini , silahkan diinvestigasi lagi atau ada klarifikasi dari pihak terkait.
“ PSMTI lahir sebagai paguyuban sosial. Jika urusan internal diselesaikan dengan cara eksklusif dan represif, ini bertentangan dengan hakikat persaudaraan ”, kata seorang anggota yang meminta identitasnya dirahasiakan. Menurutnya, organisasi sosial harus menjadi ruang dialog, bukan arena sanksi sepihak.
Delegasi Gagal , Pencitraan Menguat
Kritik lain menyoroti gaya kerja operasional (oknum M) yang dinilai tidak sehat : tugas-tugas tidak didelegasikan secara proporsional ke tingkat ranting, tetapi terpusat pada segelintir oknum. Akibatnya, muncul kesan pencitraan semu—aktivitas terlihat ramai di permukaan, namun tak berbanding lurus dengan pelayanan sosial di akar rumput.
” Justru berkesan dimanfaat habis habisan untuk kepentingan perusahaan asuransi tertentu , menyisihkan nilai nilai yang murni dan baik dari pendiri PSMTi . Sebaiknya diadakan audit atau evaluasi dan validasi para aktivis yang berpengaruh luas “, demikian ungkap H.
“ Kalau semangat sosial benar-benar hidup, seharusnya pemberdayaan ada di ranting. Yang terjadi justru sentralisasi, sementara kebutuhan riil anggota kerap tak tertangani ”, ujar pengamat organisasi kemasyarakatan di Jakarta. Ditambahkan pula, bahwa PSMTi sebagai wadah dari aneka penganut agama , sebaiknya tidak dijadikan ajang/dominasi propaganda agama tertentu, terutama di dalam grup-grup medsos.
Ujian bagi Wajah PSMTI
Kasus ini menjadi ujian serius bagi wajah PSMTI sebagai organisasi kemasyarakatan Tionghoa yang mengusung nilai kebersamaan. Publik menanti respons terbuka dari pengurus wilayah guna menjernihkan persoalan dan memastikan mekanisme internal berjalan adil.
Transparansi, pemulihan hak, dan dialog terbuka dinilai mendesak agar konflik tidak menjalar dan merusak kepercayaan anggota. Lebih jauh, PSMTI ditantang membuktikan bahwa kata “sosial” bukan sekadar label, melainkan nilai yang hidup dalam setiap keputusan organisasi.
(RED/HB)




















