INEWSFAKTA.COM | JAKARTA, 5-12-2025 — Bagi jutaan warga Jakarta yang tinggal di rumah susun dan apartemen, hunian vertikal tidak selalu identik dengan rasa aman. Di balik dinding beton yang menjulang, persoalan hukum, transparansi pengelolaan, dan lemahnya perlindungan konsumen justru kerap membuat penghuni terjebak dalam sengkarut berkepanjangan.
Mulai dari sengketa pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS), ketidakjelasan legalitas bangunan, pemutusan layanan air dan listrik, hingga polemik tunggakan iuran pengelolaan lingkungan (IPL) menjadi potret umum hunian vertikal di ibu kota.
Dalam sejumlah kasus, warga mengaku tak hanya menghadapi masalah teknis atau administratif, tetapi juga tekanan sosial yang justru mengaburkan substansi masalah hukum.
“Ketika warga menuntut hak sebagai konsumen, isu selalu dialihkan menjadi soal status sosial: dianggap orang kaya, dibilang mampu beli apartemen, lalu disudutkan secara pribadi,” ujar salah satu penghuni apartemen di Jakarta yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Alih-alih membahas dasar hukum rumah susun, perdebatan kerap berubah menjadi adu gengsi dan serangan pribadi. Pengamatan sejumlah kelompok warga menunjukkan, pola ini muncul dalam bentuk :
* Argumen ad hominem atau menyerang pribadi, bukan masalah.
* Jawaban tanpa rujukan hukum, hanya opini atau interpretasi bebas.
Konsumen Dijebak Sejak Awal
Sejumlah warga menilai persoalan rumah susun tidak berdiri sendiri, melainkan lahir dari sistem yang sejak awal lemah.
Masyarakat, kata mereka, dijebak melalui:
1. Perjanjian sepihak yang lebih menguntungkan pengembang atau pengelola.
2. Tidak adanya dana perlindungan konsumen rumah susun yang dapat menjamin ganti rugi jika proyek bermasalah.
3. Lemahnya penegakan sanksi pemerintah, meski pelanggaran regulasi terjadi bertahun-tahun.
Akibatnya, ketika konflik muncul, konsumen menjadi pihak paling rentan. Pembayaran lunas unit belum tentu diikuti kepastian sertifikat, sementara negosiasi soal IPL dan layanan dasar sering berujung intimidasi.
“Kami ini konsumen. Kalau di sektor lain ditipu, negara hadir. Tapi di rumah susun, kami seperti dibiarkan,” kata salah seorang penghuni apartemen di Jakarta.
UU 20/2011 & PP 13/2021: Harapan yang Belum Sepenuhnya Terwujud
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 13 Tahun 2021 sebenarnya telah memberikan kerangka hukum kuat. UU ini menegaskan :
* Rumah susun bukan sekadar properti, tetapi lingkungan hidup kolektif.
* Hak pemilik mencakup pengelolaan atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
P3SRS adalah instrumen demokrasi warga.
PP 13/2021 kemudian memperjelas kewenangan pemerintah daerah dalam pembinaan dan pengawasan, termasuk :
* Fasilitasi pembentukan P3SRS.
* Pengawasan pengelolaan rumah susun.
* Mediasi sengketa antara pengelola dan warga.
Namun di lapangan, warga mengeluhkan bahwa aparat daerah kerap “berhenti” di tahap pencatatan administratif.
Apa yang diharapkan (realisasi) oleh warga rumah susun kepada pihak berwenang, seperti contoh di bawah ini :
Menegaskan bahwa aturan tidak boleh berhenti di atas kertas.
“UU Nomor 20 Tahun 2011 dan PP Nomor 13 Tahun 2021 sudah sangat jelas menempatkan warga sebagai subjek utama. Negara tidak boleh hanya mencatat, tetapi juga memastikan P3SRS dibentuk secara sah dan berfungsi akuntabel ”.
“Kalau ditemukan pelanggaran, sanksi administratif harus diterapkan. Legalitas bangunan, tata kelola keuangan, hingga legitimasi pengurus P3SRS harus diverifikasi ”.
“Kami memfasilitasi penyelesaian konflik lewat dialog. Jika buntu, jalur hukum tetap terbuka dan pemerintah daerah dapat memberikan rekomendasi administratif sesuai kewenangan ”.
Dari sisi legislatif,
“Kalau pengawasan longgar, konflik bisa menjadi sistemik. Kami mendorong transparansi IPL dan audit dana bersama agar tata kelola rumah susun tidak liar ”.
Dari sisi Ombudsman RI
“Jika ada dugaan mal-administrasi, penyalahgunaan wewenang, atau pembiaran oleh instansi, silakan lapor ke Ombudsman. Negara wajib hadir dalam layanan publik ”.
Perlu dijelaskan apa arti kata hadir dalam kalimat di atas, karena ada fakta memang sekedar hadir saja dan tidak ada eksekusi apapun.
Apakah RAKYAT kalah 100% ? DPRD Jakarta dan keluarga TNi Polri turut memantau perkembangan 6 somasi.
Introspeksi Warga
Di sisi lain, warga juga mengakui perlunya refleksi internal. Sejumlah aktivis rumah susun menyebut :
* Banyak warga enggan membaca regulasi.
* Masalah ekonomi pribadi sering bercampur dengan konflik struktural.
* Individualisme membuat solidaritas lemah.
* Menggugat pemerintah masih dianggap tabu.
“Pertanyaannya: beranikah warga menggugat negara yang lalai menjalankan undang-undangnya sendiri?” kata seorang penggiat isu rumah susun.
Jalan Panjang Reformasi Hunian
Masalah rumah susun tak cukup diselesaikan dengan mediasi sesaat. Tanpa penegakan hukum yang tegas, konflik akan terus berulang. Para pakar tata kota menilai solusi jangka panjang mencakup:
* Audit nasional bangunan rumah susun.
* Verifikasi ulang P3SRS bermasalah.
* Skema dana perlindungan konsumen properti.
Penguatan peran DPRD dan Ombudsman.
UU 20/2011 dan PP 13/2021 sejatinya sudah memberi peta jalan. Tantangannya kini bukan kekurangan regulasi, melainkan keberanian negara menegakkannya.
Jika tidak, rumah susun hanya akan menjadi simbol kota modern yang rapuh di dalam.
(RED/Handy)




















