INEWSFAKTA.COM | Jakarta, 4-12-2025 — Pada akhir tahun 2025 ini, H.Bataya banyak menerima aduan masyarakat terkait rumah susun. Ada beberapa variasi permasalahan, antara lain kasus jual beli, kasus operasional, kasus kualitas kerja DPRKP , kasus hutang piutang , Perbuatan Melawan Hukum hingga pidana. Bahkan ada warga rumah susun yang beropini, bahwa mereka seakan akan dijadikan “ATM” oleh developer dan PemDa. Ada juga opini warga bahwa telah terjadi ” cinta segitiga ” antar developer, anggota dewan perwakilan dan PemDa dalam pembiaran berbagai pelanggaran regulasi dan operasional tata kelola rumah susun yang sudah puluhan tahun terjadi hingga kini.
Di balik maraknya penjualan rumah susun (property) , tersimpan risiko hukum dan finansial besar bagi konsumen. Namun hingga kini, negara dinilai belum hadir secara utuh untuk melindungi pembeli melalui regulasi yang tegas dan mekanisme pengamanan dana.
Tokoh warga , ketua yayasan , paguyuban dan Forum Peduli Warga Rumah Susun Indonesia , H.Bataya menilai banyak konsumen terjebak dalam skema penjualan yang secara hukum lemah, terutama karena minimnya perlindungan negara pada tahap awal transaksi.
” Negara ini banyak Undang Undang , namun bagaimana kualitas pengawasan dan penerapan sanksi atas pelanggarannya ? Banyak pejabat dinas yang masuk angin di musim hujan ini “, demikian ujar H.Bataya setelah diedukasi ( UU 20/2011 & PP 13/2021) oleh rekan perwira TNI yang juga menjadi korban permasalahan rumah susun di ibukota. Ada juga rekan keluarga Polri yang mengadu hal kualitas pelayanan dan operasional P3SRS. Oleh karna aduan masyarakat tersebut , maka dalam waktu dekat H.Bataya akan bersillaturrahmi dengan tokoh nasional berkaitan TNi – Polri dan pejabat nasional lainnya untuk mendapatkan dukungan upaya solusi.
“Konsumen terikat kontrak, tapi negara tidak menahan dana konsumen atau menjamin risiko ketika proyek gagal. Ini cacat sistem ”
Undang-Undang : Perlindungan Ada, Tapi Lemah di Praktik
Sejumlah regulasi sebenarnya telah mengatur transaksi jual beli rumah, namun implementasinya dinilai belum efektif.
1. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-undang ini menegaskan :
* Konsumen berhak atas keamanan, kenyamanan, dan keselamatan dalam menggunakan barang/jasa.
* Konsumen berhak memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur.
* Pelaku usaha wajib beritikad baik dalam kegiatan usahanya.
Namun dalam banyak kasus rumah inden, informasi mengenai legalitas lahan, izin bangunan, atau kesiapan proyek tidak pernah disampaikan secara terbuka.
* Penjualan rumah tanpa kepastian pembangunan berpotensi melanggar Pasal 8 UU Perlindungan Konsumen tentang larangan peredaran barang/jasa yang menyesatkan.
2. UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
Pasal dalam undang-undang ini menegaskan :
* Pengembang wajib membangun rumah sesuai perjanjian.
* Pemerintah bertanggung jawab atas perlindungan konsumen perumahan.
* Setiap transaksi perumahan harus menjamin kepastian hukum hak atas rumah.
Tetapi dalam praktik, mekanisme pengawasan negara terhadap proyek inden masih lemah, terutama untuk mencegah proyek mangkrak.
3. UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
Dalam konteks apartemen & rumah susun :
* Sertifikat strata title wajib diselesaikan pengembang.
* Konsumen berhak mendapatkan unit sesuai spesifikasi yang dijanjikan.
Pembeli rumah susun inden sangat rentan dirugikan apabila pengembang gagal menyelesaikan pembangunan atau menunda pengurusan sertifikat.
Perjanjian Jual Beli di Bawah Pengawasan Pemerintah
4. PP No. 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman
Peraturan ini mengatur bahwa:
Penjualan rumah inden hanya dapat dilakukan apabila:
* Status lahan jelas
* Izin pembangunan sudah terbit
* Prasarana dasar tersedia
Faktanya, banyak pengembang sudah menarik uang konsumen meskipun syarat administratif ini belum terpenuhi.
5. Permen PUPR No. 11/PRT/M/2019
tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah
Permen ini menegaskan :
* PPJB hanya boleh dilakukan bila rumah sudah dibangun minimal 20 persen.
Developer wajib :
* Memiliki izin bangunan
* Memiliki kepastian hak atas tanah
* Menyediakan spesifikasi teknis dalam kontrak
Praktik penjualan properti berbasis brosur sebelum proyek nyata dibangun berpotensi melanggar aturan ini.
PPJB yang Cacat Hukum
Menurut H.Bataya, banyak PPJB disusun sepihak dan berat sebelah.
“ Klausulnya melindungi developer, bukan konsumen. Pembeli sering tidak sadar sedang menandatangani dokumen yang merugikan dirinya sendiri ”, katanya.
Padahal, berdasarkan :
Permen ATR/BPN No. 16 Tahun 2021
tentang Tata Cara Balik Nama Sertifikat
Pengembang wajib menyelesaikan proses peralihan hak tepat waktu. Penundaan berkepanjangan dapat dilaporkan ke BPN dan menjadi objek sengketa.
Tanpa Escrow, Dana Konsumen Tidak Aman
Indonesia belum memiliki regulasi nasional yang mewajibkan escrow account untuk dana konsumen properti.
“ Kalau dana konsumen tidak dikunci (diamankan oleh pemerintah), itu bukan transaksi aman, itu spekulasi ,” katanya.
Urgensi Reformasi Regulasi
Steve menilai pemerintah harus segera :
✅ Mewajibkan escrow account
✅ Mewajibkan asuransi kegagalan proyek
✅ Melarang KPR inden tanpa progres Fisik
✅ Mewajibkan PPJB diawasi notaris/ independen
✅ Meningkatkan sanksi pidana bagi pengembang mangkrak
Negara Wajib Hadir di Hulu, Bukan Sekadar Di Hilir
Selama ini negara baru hadir ketika :
* Konsumen menggugat
* Proyek gagal
* Media memberitakan
Namun, negara jarang hadir saat :
* Konsumen baru akan membeli
* Kontrak disusun
* Dana diserahkan
Pasar properti tidak boleh dibiarkan berjalan seperti pertaruhan berkedok investasi. Tanpa regulasi tegas, rumah impian akan terus berubah menjadi mimpi buruk finansial.
(RED/H)




















